Selasa, 08 Juni 2010

Sistem Kepartaian dan Pemilu

SISTEM KEPARTAIAN DAN PEMILU Sistem Kepartaian dan Pemilu: Arti Penting dan Hubungan Dari beberapa hasil studi menyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia ini memiliki partai. Tak terkecuali negara-negara yang tergolong, sebagai negara berkembang. Partai telah diyakini sebagai komponen penting dalam sistem pemerintahan buat membangun sistem politik yang demokratis. Dengan adanya politik partai diharapkan semua aspirasi rakyat yang heterogen dapat terakomodasi secara proporsional lewat pemilu. Melalui hasil pemilu roda pemerintahan dijalankan untuk mencapai negara sejahtera (welfare state) seperti yang dicita-citakan. Tetapi dalam banyak kasus terutama di negara berkembang keberadaan partai justru telah menimbulkan pemerintahan yang tidak efektif, inefisien, bahkan tidak jarang menimbulkan chaos. Lain halnya di negara maju (developed countries) sistem kepartaian di negara ini sudah mapan, terdiri dari dua partai, seperti USA dan Kanada atau beberapa partai seperti, Italia dan Perancis. Di Indonesia sistem kepartaian mempunyai sejarah yang cukup panjang. Pada era pasca revolusi sistem kepartaian mengalami masa boom partai. Tetapi banyaknya partai justru menjadikan instabilitas di semua sektor. Reformasi partai politik dimulai pada masa Orde Baru dengan melakukan fusi dari multi partai menjadi beberapa partai dan mengurangi kekuatan partai dengan floating mass dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1975. Sedangkan pada tahun 1999 terdapat 48 partai politik yang berhak mengikuti pemilihan umum. Hubungan Partai Politik dan Pemilu Pemilu dengan partai politik merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan. Pemilu membutuhkan partai politik sebagai kontestannya. Sedangkan partai politik membutuhkan pemilu sebagai sarana memilih wakil-wakilnya yang akan duduk dalam legislatif maupun kabinet. Meskipun partai politik sudah ada sejak sebelum kemerdekaan tetapi pemilu di Indonesia baru dilaksanakan pada tahun 1955. Pada masa itu digunakan sistem multi partai dan sistem perwakilan berimbang atau proporsional. Dalam prakteknya sistem ini justru menimbulkan distorsi dan friksi. Terbukti dari tidak bertahan lamanya kabinet yang dibentuk dan sering terjadi konflik. Kondisi ini menjadikan pemerintah pada waktu itu tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Setelah dilakukan reformasi dan dilaksanakannya Pemilu 1971 fungsi pemerintah berjalan normal. Barometer kesuksesan pelaksanaan Pemilu 1971 dipakai acuan untuk Pemilu selanjutnya. PENGERTIAN DAN FUNGSI PARTAI POLITIK Pengertian Partai Politik Definisi atau batasan mengenai partai politik jika kita lihat dalam literatur sangat banyak dan beragam. Tetapi secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuannya untuk merebut kedudukan politik dan mendapatkan kekuasaan politik dengan cara konstitusi guna mengimplementasi kebijakan-kebijakan partainya. Sedangkan jika dilihat berdasar makna etimologisnya partai politik akan berarti bagian atau belahan atau pecahan. Fungsi Partai Politk Partai politik umumnya dianggap sebagai manifestasi dari sistem politik yang sudah modern atau yang dalam proses modernisasi diri. Sebagai sistem politik, partai politik mempunyai fungsi yang sangat strategis dalam mewujudkan dasar ideologi bahwa rakyat berhak turut menentukan calom pemimpin yang nantinya menentukan kebijakan umum (publik policy). Dalam berbagai literatur partai politik mempunyai fungsi sebagai sarana komunikasi politik (instrumentof political comunication), sosialisasi politik (instrument of political socialization) rekrutmen politik (selection of leadership), dan pengatur konflik (conflict management). Namun fungsi ini akan bergeser makna tergantung pada sistem ideologi politik yang melatarbelakangi rejim yang berkuasa, seperti fungsi partai politik di negara tirani akan berbeda makna dengan fungsi partai politik di negara sosial atau kapitalis. Arti dan Fungsi Partai Politik di Indonesia Secara teoritis pengertian partai politik di mana pun sama. Namun dalam prakteknya sering terjadi distorsi karena pengaruh berbagai hal. Di Indonesia misalnya, arti dan fungsi partai politik sedikit bergeser makna. Partai politik bukannya berfungsi sebagai sarana penghubung rakyat dengan pemerintah tetapi sebagai sarana berkonflik dengan pemerintah. Di Indonesia setiap terjadi perubahan pemerintah terjadi perbedaan interpretasi terhadap partai politik. Hal ini lantaran setiap pemerintahan membawa visi, misi dan tujuan yang tidak selalu sama. Karena perbedaan itu sejarah perkembangan partai politik di negara kita dapat dikategorikan menjadi periode masa revolusi atau pada masa pemerintahan kolonial, periode Demokrasi Liberal, periode Demokrasi Terpimpin dan periode Demokrasi Pancasila KLASIFIKASI PARTAI POLITIK Formula Klasifikasi Munculnya perbedaan pengklasifikasian partai dipengaruhi oleh cara pandang yang berbeda sehingga melahirkan tipologi yang berbeda pula. Ada pakar yang lebih menitikberatkan pada jumlah, jenis dan orientasi. Ada pula yang melihat dari sudut pandang relasi kekuatan dan ideologi. Ada tujuh klasifikasi partai yaitu dari segi komposisi dan keanggotaannya, sifat dan orientasinya, hubungan, perimbangan kekuatan, besaran partai, fleksibilitas dan ideologi. Sedangkan tipologi yang sering dipakai untuk kepentingan analisa adalah dari segi jumlah, seperti sistem multi partai dua partai dan monopartai. Klasifikasi Partai di Indonesia Pasca kemerdekaan pemerintah pernah mengusulkan sistem satu partai tetapi gagasan ini tidak terwujud karena menimbulkan kontroversi. Sebagai gantinya pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 yang menganjurkan dan memberi kesempatan seluas-luasnya pada masyarakat untuk mendirikan partai baru. Menjelang Pemilu 1955 tercatat sebagai boom partai. Pada saat itu ada 36 partai yang ikut sebagai kontestan untuk memperebutkan kursi di parlemen. Masa ini dikenal sebagai sistem demokrasi liberal. Ternyata sistem ini menimbulkan inefisiensi ditandai gagalnya partai-partai menjalankan fungsi pemerintahan sebagaimana mestinya. Kegagalan sistem ini menyulut diterapkannya demokrasi terpimpin yang diprakarsai oleh Presiden Sukarno. Tetapi dalam perjalanannya sistem ini banyak menyimpang dari UUD 45 dan falsafah Pancasila. Sehingga melahirkan pemerintah Orde Baru yang melakukan reformasi politik secara radikal dan berupaya mengembalikan pemerintah yang berlandaskan pada UUD 45 dan falsafah Pancasila. PERBANDINGAN PARTAI POLITIK Partai Politik di Negara Maju Partai politik pertama kali lahir pada abad 18 di Inggris sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah. Kemunculannya dilatari dengan meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan keputusan politik (public policy). Konsep genesis partai membedakan pembentukan partai politik ke dalam partai yang lahir di dalam parlemen dan di luar parlemen. Pada perkembangannya melalui perjalanan panjang partai politik di negara maju mampu menyelenggarakan fungsi partai sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah sebagai badan eksekutif. Partai Politik Negara Berkembang Sebagian besar negara yang tergabung dalam kelompok Negara Berkembang terdiri dari negara bekas jajahan. Oleh sebab itu meskipun format politik secara bulat mengadopsi konsep politik dari negara maju tetapi dalam implementasinya, peran partai politik masih jauh dari peran dan fungsi idealnya. Partai politik lebih berperan sebagai oposan atau tandingan pemerintah bukan sebagai mitra kerja sama (mutual symbiosis) untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Kondisi ini tidak bisa luput dari sejarah yang melatar belakangi lahirnya partai politik pada mulanya sebagai alat perjuangan untuk mengusir penjajah. Peran ini melekat terus sampai negara ini mengalami pasca kemerdekaan. Karena itu dapat dilihat bahwa integritas partai terhadap negara rendah, sering menimbulkan friksi dan konflik. Fenomena yang berkembang jika partai politik tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik maka yang akan muncul adalah kekuatan militer. Problematik Ideologi Partai Politik Partai politik dan ideologi merupakan dua konsep yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. Ideologi pada umumnya melandasi lahirnya partai politik. Sebaliknya partai politik ada sebagai sarana untuk mewujudkan ideologi itu. Pada masa Presiden Soekarno pernah dipaksakan gagasan untuk memadukan 3 (tiga) rumpun ideologi yang saling bertentangan, yaitu Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Gagasan ini banyak menimbulkan kontroversi sehingga gagasan itu hanya sebagai nama saja. Terdapat basis ideologi partai-partai politik di Indonesia yang heterogen. Heterogenitas ini telah menimbulkan friksi bahkan konflik antarpartai yang berkepanjangan. Baru setelah Pancasila dijadikan satu-satunya asas (mono asas) kinerja kepartaian di negara ini menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. PARTAI POLITIK PADA MASA PENJAJAHAN Partai Politik Pada Masa Penjajahan Embrio sejarah perjalanan partai politik di Indonesia dimulai saat berdirinya organisasi pergerakan Budi Utomo. Meskipun banyak pakar mengakui bahwa Budi Utomo saat itu hanyalah merupakan suatu gerakan kultural lantaran peran dan eksistensinya bersifat eksklusif dari dan untuk kepentingan kaum bangsawan atau lingkungan priyayi Jawa. Pengertian partai politik dalam arti modern baru tampak setelah berdirinya partai Serikat Islam muncul dalam kancah perjuangan bangsa. Sarekat Islam atau SI merupakan reinkarnasi dari organisasi Serikat Dagang Indonesia/yang dibredel pemerintah kolonial karena dinilai telah bergeser kearah organisasi perjuangan rakyat. Sebutan SI sebagai partai modern ditandai oleh falsafah, manajemen dan. rekrutmen keanggotaan yang cukup solid. Jumlah Partai Politik Ada sedikitnya 25 partai politik pernah lahir di era pemerintahan kolonial Belanda, sehingga dapat dikatakan kehidupan partai politik pada saat itu sebagai multi partai. Dan ini menjadi momentum bagi perjalanan kepartaian di Indonesia. Eksistensi partai politik pada saat itu dibentuk di luar parlemen dan didirikan oleh rakyat. Secara prinsipil ada empat corak ideologi kepartaian yang mewarnai partai politik saat itu yakni, Islam, nasionalisme/sosialisme, Marxisme atau komunis dan demokrasi. Ditinjau dari kekuatan partai bisa diukur dari jumlah anggota (members) dan jumlah kursi di Volkaraad (Parliamentary Seats). Dari jumlah anggota yang terbanyak dipegang oleh partai Sarekat Islam yang mencapai sekitar 2 juta orang. Karena bilangan anggota partai lainnya berkisar ribuan saja maka massa partai berasaskan keislaman merupakan massa yang paling dominan ketimbang asas-asas yang lain seperti, nasionalisme dan komunisme. Sedangkan berdasarkan kedudukan jumlah kursi di parlemen dipegang oleh NIVB sebanyak 10 orang. Mayoritas NIVB di parlemen semata-mata lantaran mayoritas anggota partai berkedudukan sebagai pegawai negeri (ambtenar). Ditinjau dari hubungan partai politik yang satu dengan lainnya sebagai potensial adanya konflik. Konflik bisa disebabkan karena perbedaan ideologi, maupun konflik kepentingan para pemimpinnya. Konflik ideologi pertama terjadi antara ideologi Islam dan komunisme. Sedangkan konflik kepentingan bisa berlangsung dalam partai itu sendiri (intern) maupun dengan partai yang lainnya (ekstern). Ditinjau dari hubungan partai politik dengan pemerintah juga diwarnai dengan konflik, terutama partai-partai yang non-kooperasi. Bentuk konflik bisa persuasif bisa juga represif. Zaman Jepang Pada awal kekuasaan Jepang, aktivitas politik di Indonesia sempat terhenti karena adanya pelarangan terhadap segala bentuk aktivitas politik. Kegiatan politik Indonesia baru mulai bangkit kembali ketika Jepang mendirikan gerakan 3A (Nippon pemimpin Asia, Nippon pelindung Asia, Nippon cahaya Asia) yang bertujuan mencari dukungan Indonesia terhadap Jepang. Sejak saat itulah Jepang mulai menghidupkan kembali arena perpolitikan Indonesia, namun tetap dengan tujuan mencari dukungan Indonesia dalam membantu Jepang memenangkan perang Asia Timur Raya. Pada masa kekuasaan Jepang, tercatat terdapat 6 partai politik resmi yang dibentuk, tumbuh, namun dibubarkan sendiri oleh Jepang, dengan pola kepartaian mengarah pada sistem partai tunggal (single-party system). Dari segi keanggotaan, partai-partai Islam cenderung memiliki jumlah anggota yang lebih besar dari pada partai nasionalis. Namun, seperti pada zaman Belanda, jumlah anggota partai politik terbanyak bukan jaminan bagi perolehan kursi di badan legislatif. Konflik di antara partai politik pada zaman Jepang relatif kecil. Namun konflik antara partai politik non-kolaborasi dengan pemerintah Jepang dilakukan secara terang-terangan oleh partai-partai "bawah tanah", dalam bentuk sabotase, propaganda anti Jepang, aksi protes, hingga pemberontakan. PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE LAMA Maklumat Pemerintah 3 November 1945 Pasca kemerdekaan negara Indonesia mengalami masa kevakuman partai politik (vacum of political party). Untuk mengisi kevakuman ini pemerintah membuat gagasan mendirikan sebuah partai yang dikenal dengan Partai Nasional Indonesia atau PNI. Partai ini merupakan partai tunggal yang oleh pemerintah diharapkan dapat menjadi motor penggerak perjuangan rakyat menuju masyarakat yang dicita-citakan. Meskipun gagasan ini telah dikomunikasikan oleh Presiden Soekarno melalui siaran radio namun gagasan tetap menjadi sebuah gagasan. Gagasan mendirikan partai tunggal mendapat tantangan keras dari berbagai pihak. Hal ini berkaitan dengan citra Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bakal dicap negara otoriter dan fasisme jika menerapkan partai tunggal. Maka melalui kebijaksanaan 3 November 1945 yang ditetapkan dalam bentuk Maklumat Pemerintah, gagasan mendirikan partai tunggal secara formal batal dan berlakulah sistem multi partai. Dengan sistem ini sejarah kepartaian di negara kita mengalami masa booming tercatat pada pelaksanaan pemilu pertama ada sebanyak 36 partai politik ikut berpartisipasi mengikuti pemilu. Partai Memerintah Kebijaksanaan 3 November 1945 selain merontokkan gagasan Presiden Soekarno untuk mendirikan partai tunggal sekaligus meregulasi diterapkannya sistem multi partai. Dari kebijakan itu tercatat pada 27 partai lahir dan terus tumbuh serta mengalami puncaknya menjadi 36 partai politik. Dari sejumlah itu mereka mewakili tiga kelompok ideologi, yakni keagamaan, nasionalisme, dan komunisme. Peta kekuatan pun berganti-ganti. Pada awal kemerdekaan PNI merupakan partai terkuat di KNIP. Selanjutnya partai Masyumi bertengger di papan atas, menyusul PNI dan partai lain di deretan belakang. Pada masa booming partai ini diterapkan sistem Kabinet Parlementer di mana kekuasaan partai lebih dominan di dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraan. Hal ini terwujud dari tanggung jawab kabinet bukan pada presiden tetapi pada parlemen yang didominasi oleh partai. Namun mengingat tidak ada partai dominan maka kabinet dibentuk berdasar koalisi beberapa partai yang berseberangan kepentingan dan ideologinya maka sering terjadi konflik dalam tubuh kabinet terpilih. Akibatnya kabinet tidak mampu melaksanakan fungsi kenegaraan lantaran sering terjadi pergantian kabinet. Penyederhanaan Sistem Kepartaian Gagalnya sistem pemerintahan Kabinet Parlementer melatari kembalinya pemerintah ke sistem Kabinet Parlementer di mana tanggung jawab ada pada presiden. Implementasi tahap awal dimanifestasikan dalam bentuk mendepresiasi jumlah partai politik menjadi beberapa partai. Korban pertama penyusutan ini dialami oleh Masyumi dan PSI sehingga jumlah partai yang semula 27 menjadi 25. Langkah selanjutnya setelah dikeluarkannya Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Nomor 13 Tahun 1960 jumlah partai menyusut lagi hingga tinggal 9 partai dan bertahan sampai menjelang runtuhnya pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Untuk menciptakan kekuasaan yang dominan pada badan eksekutif, pemerintah membubarkan DPR sebagai basis kekuatan partai dan digantikannya dengan DPRGR I. Dengan demikian maka peta kekuatan telah bergeser dari partai-partai ke golongan fungsional, TNI-AD serta PKI atau triangle political power yang kendalinya dipegang oleh Presiden Soekarno. PENGERTIAN PEMILU DAN MACAM-MACAM SISTEM PEMILIHAN Pengertian Pemilu Pemilihan umum merupakan manifestasi kongkret dari kedaulatan rakyat. Dalam pemilihan umum rakyat memilih wakil-wakil dalam parlemen untuk kemudian diharapkan dapat memperjuangkan aspirasinya. Pada pemerintahan kota Yunani Kuno pernah dilakukan demokrasi langsung. Artinya hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung ini dapat terselenggara barangkali karena sederhana. Pasca perang dunia II atau dalam negara modern sekarang ini akan sulit jika dilakukan pemilihan secara langsung karena masalah ruang, waktu dan biaya. Maka banyak negara yang menganut paham demokrasi dalam pelaksanaan pemilu memilih menggunakan sistem perwakilan (representative democracy). Setiap sistem pemilihan masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Tetapi keduanya akan berjalan lebih efektif dan demokratis jika diselenggarakan secara Luber dan Jurdil. Pelaksanaan pemilu sebagai wujud dari kedaulatan rakyat merupakan salah satu pesta demokrasi yang melelahkan. Betapa tidak, pelaksanaan pemilu melibatkan kurang dari 12 kegiatan. Maka tak pelak jika penyelenggaraan pemilu pada umumnya dilakukan dalam kurun waktu tertentu. Seperti di Indonesia misalnya, pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Sebagai wujud konkret kedaulatan rakyat maka pelaksanaan pemilu terus diupayakan kesempurnaan dalam penyelenggaraan. Kesempurnaan dalam kaitan ini akan menentukan kualitas pemilu itu sendiri. Dan hal ini pada gilirannya akan memberikan citra yang lebih baik terhadap pelaksanaan demokrasi seperti yang dicita-citakan. Salah satu instrumen untuk meningkatkan kualitas pemilu adalah pelaksanaan asas LUBER dan JURDIL yaitu kepanjangan akronim Langsung, Umum, Bebas, Rahasia dan Jujur dan Adil. Macam-macam Sistem Pemilu Pemilihan umum sering dikatakan sebagai ujung tombak pelaksanaan sistem demokrasi. Hal ini lantaran dalam pemilihan umum setiap warga dapat mengapresiasikan hak suaranya untuk memilih wakil yang dipercayai mewakili lembaga legislatif. Dalam ilmu politik ada dua prinsip utama pelaksanaan sistem pemilihan umum, yakni pemilihan umum menggunakan sistem distrik dan proporsional atau sistem perwakilan berimbang. Pada sistem distrik jumlah wakil rakyat dalam DPR ditentukan berdasarkan jumlah distrik. Setiap distrik mempunyai satu wakil dari masing-masing parpol kontestan pemilu. Sedangkan pada sistem perwakilan berimbang suatu negara dipecah-pecah ke dalam suatu daerah pemilihan. Setiap daerah memilih sejumlah wakil sesuai dengan jumlah penduduk yang ada dalam daerah pemilihan tersebut. Jumlah wakil yang akan duduk di DPR tergantung dari perolehan suara hasil pemilu. Baik sistem distrik maupun proporsional keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan. SISTEM PEMILU PEMERINTAHAN ORDE BARU Sistem Pemilu Pemerintahan Orde Baru Implikasi kegagalan Gerakan 30 September yang didalangi PKI telah melahirkan orde pemerintahan untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 dan falsafah Pancasila yang dirasa lebih sesuai dengan kultur dan harkat bangsa Indonesia. Untuk itu beberapa upaya reformasi dilakukan pemerintah, seperti digantikannya sistem demokrasi terpimpin dengan sistem yang lebih kondusif yaitu demokrasi Pancasila. Upaya itu antara lain: meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-undang Dasar 1945, mengoreksi Ketetapan MPRS No. III/1963 tentang masa jabatan seumur hidup untuk Presiden Soekarno dan melaksanakan pemilu. Pelaksanaan Pemilu Kekuatan politik sebagaimana lazimnya menginginkan mencapai suara mayoritas dalam setiap pemilu. Hal ini dilandasi adanya asumsi dengan suara mayoritas maka perolehan kursi dalam parlemen akan semakin banyak dan ini memudahkan partai dalam memperjuangkan kebajikan-kebajikannya. Dalam beberapa pemilu yang telah dilakukan pemerintah Orde Baru, Golkar menunjukkan dominasi sebagai single majority. Hal ini tidak lepas dari profesionalisme organisasi Golkar yang solid dibanding organisasi parpol yang masih dirundung konflik internal. Permasalahan Pemilu Demokrasi pada esensinya adalah dari rakyat untuk rakyat. Oleh karena itu demokrasi selalu tegak di atas dua pilar utama yaitu kebebasan dan kesederajatan. Dalam demokrasi, badan perwakilan politik bukan saja berperan sebagai wakil konstituan belaka (delegate) tetapi lebih sebagai trustee yang mempunyai tugas dan tanggungjawab yang besar terhadap bangsa dannegara. Maka dari itu disamping perannya sebagai penyambung aspirasi rakyat mereka mempunyai tugas ikut mennetukan kebijakan (policy), membuat undang-undang dan melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan. Pelaksanaan proses pemilu sebagai salah satu wujud demokrasi dalam prakteknya meskipun disana sini masih tampak adanya bentuk pressure dan penyimpangan-penyimpangan lainnya tetapi di banding masa Orde Lama telah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. SISTEM KEPERTAIAN DAN PEMILU PASCA ORDE BARU Sistem Kepartaian Politik Pasca Orde Baru Kemunculan partai politik baru pada periode paska Orde Baru merupakan pencerminan mulai tumbuhnya kesadaran baru akan hak dan kewajiban politik di kalangan masyarakat. Kesadaran politik yang tumbuh di kalangan masyarakat mulai didukung oleh pemerintahan BJ Habibie yang ditandai dengan diterbitkannya 3 (tiga) undang-undang politik baru, yaitu UU No. 2 Tahun 1999, UU No. 3 Tahun 1999 dan UU No. 4 Tahun 1999. Pada periode ini muncul 48 partai yang berhak ikut dalam Pemilu 1999. Pada umumnya ke-48 partai tersebut menampilkan visi yang berkaitan dengan visi politik dan visi ekonomi, sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia. Pemilihan Umum di Era Indonesia Baru Pemilihan umum 1999 dilaksanakan dalam situasi Indonesia yang tidak menentu, karena keharusan melaksanakan pemilu tidak dapat ditunda, sebab secara konstitusional telah menjadi Ketetapan MPR. Menyangkut persiapan pemilu 1999, pemerintah melakukan revisi UU Politik Tahun 1985. Undang-undang tersebut terdiri dari UU No. 2/1999 tentang Partai Politik, UU No. 3/1999 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Meskipun ketiga UU Politik ini masih dianggap belum komprehensif dan mengecewakan sebagian kalangan karena sebagian substansinya masih dianggap menguntungkan kekuatan status quo, tetapi secara obyektif diakui ada sejumlah kemajuan penting, khususnya dalam UU Partai Politik dan UU Pemilihan Umum. Kedua UU ini membuka wacana bagi terlaksananya pemilu yang adil, jujur dan demokratis. Langkah maju itu antara lain : a. adanya kebebasan memilih bagi masyarakat; b. terbuka peluang kompetisi antara partai-partai politik peserta pemilu sebagai konsekuensi logis adanya kemerdekaan berserikat bagi masyarakat; c. berkurangnya secara signifikan peluang bagi birokrasi mendistorsikan proses pemilu sebagai konsekuensi logis dari tuntutan netralitas birokrasi dan pembatasan keterlibatan unsusr-unsur pemerintah di dalam hampir semua tingkat organisasi pelaksanaan dan pengawasan pemilu; d. terbukanya peluang bagi masyarakat dan organisasi-organisasi masyarakat domestik dan internasional untuk terlibat dalam pengawasan secara sukarela; e. pemilu dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan, sehingga membuka peluang bagi jajaran birokrasi untuk menentukan partai pilihan mereka secara bebas dan tanpa tekanan. Ditinjau dari sistemnya, pemilu 1999 menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar. Subyek penyelenggara pemilu 1999 adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bebas dan mandiri, yang keanggotaannya terdiri dari unsur-unsur partai politik peserta pemilu yang berjumlah 48 partai dan unsur pemerintah yang berjumlah 5 orang. KPU bertanggungjawab terhadap presiden. Menurut UU No. 3/1999, KPU menetapkan jatah kursi masing-masing provinsi sesuai dengan bilangan pembagi pemilih 450.000 suara, disamping itu setiap daerah Kabupaten/Kota mendapat sekurang-kurangnya 1 kursi. Cara membagi jatah kursi untuk setiap partai politik adalah dengan suatu rumus yang memakai bilangan pembagi yang disebut angka kuota. Angka kuota adalah jumlah suara yang terkumpul di suatu provinsi dibagi jatah kursi provinsi tersebut. Pemilu 1999 dilaksanakan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD. Berdasarkan UU No. 4/1999, jumlah anggota MPR ditetapkan 700 orang, yang terdiri dari 500 orang anggota DPR ditambah 135 orang Utusan Daerah dan 65 orang Utusan Golongan. Lima ratus anggota DPR terdiri dari 462 orang wakil partai politik yang dipilih langsung lewat pemilu dan 38 orang anggota TNI yang diangkat. Utusan Daerah sebanyak 135 orang terdiri dari 5 orang dari tiap provinsi. Tidak dibedakan antara daerah yang padat dan daerah yang jarang penduduknya. Menurut perhitungan terakhir, PDI-P meraih mayoritas sebesar 33,8% suara (153 kursi), Partai Golkar 22,5% suara (120 kursi), PKB 12,6% suara (51 kursi), PPP 10,7% suara (58 kursi) dan PAN 7,1% suara (34 kursi). Pada tahun 2001, pemerintah mengusulkan revisi UU Bidang Politik. Bila usul ini diterima, maka terjadi perubahan dalam pelaksanaan pemilu dan susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD pada tahun 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

b