Rabu, 06 Mei 2015

Kisah Putra dan Putri Nabi Muhammad SAW

Penutur Ulang Lukman Hakim Zuhdi

Sepanjang hidup, Nabi Muhammad SAW diketahui memiliki beberapa istri. Istri pertamanya bernama Siti Khadijah binti Khuwailid, saudagar kaya berusia 40 tahun yang dinikahi sebelum beliau diangkat menjadi nabi dan rasul. Ketika itu usia beliau 25 tahun. Beliau tidak menikah lagi dengan perempuan manapun sewaktu Khadijah masih hidup. Beberapa lama setelah Khadijah wafat, beliau baru menikahi Saudah binti Zam’ah. Saat itu usia beliau sekitar 50 tahun. Beliau kemudian menikahi Siti Aisyah binti Abu Bakar Shiddiq, gadis berusia 9 tahun.
Selanjutnya Nabi Muhammad SAW menikahi Hafsah binti Umar bin Khattab, Ummu Habibab binti Abi Sufyan, Hindun binti Abi Umaiyah, dan Zainab binti Jahsyin. Zainab binti Jahsyin adalah istri pertama beliau yang meninggal dunia setelah beliau wafat. Beliau juga menikahi Juwairiyah binti Haris dan Shafiyyah binti Hayy. Adapun perempuan yang terakhir dinikahi beliau bernama Maimunah binti Haris. Kesemua istri beliau lazim dijuluki ummul mukminin, yakni ibu-ibu orang yang beriman.
Dari pernikahannya dengan Siti Khadijah, Nabi Muhammad SAW dikaruniai enam putra dan putri, yakni Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Umi Kalsum, dan Fatimah. Anak pertama beliau bernama Qasim, yang dilahirkan sebelum Muhammad SAW menjadi nabi. Atas dasar nama anak pertamanya itu, Nabi Muhammad SAW kemudian digelari Abu Qasim atau Bapaknya Qasim. Namun, tidak banyak cerita tentang kehidupan Qasim, sebab ia meninggal dunia pada usia 2 tahun. Selain itu, putra beliau yang wafat ketika masih kecil adalah Abdullah. Abdullah dilahirkan dan meninggal dunia di Mekkah. Abdullah juga diberi nama Thayyib dan Thahir lantaran lahir setelah beliau jadi nabi.
Siti Khadijah melahirkan Zainab, anak ketiganya, ketika usia Nabi Muhammad SAW 30 tahun. Ruqayyah lahir sewaktu Nabi Muhammad SAW berumur 33 tahun, kemudian lahirlah Umi Kalsum. Adapun Fatimah dilahirkan di Mekkah pada 20 Jumadil Akhir, tahun kelima dari kerasulan Ayahnya. Dari seluruh ummul mukminin, hanya Siti Khadjiah yang memberikan keturunan. Uniknya, putra dan putri beliau meninggal dunia sebelum beliau wafat, kecuali Fatimah. Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah sangat sayang terhadap anak-anaknya.
Zainab Mendapat Kado Spesial
Zainab, putri pertama Nabi Muhammad SAW, dipinang saat usianya menginjak remaja. Zainab menikah dengan Abil ‘Ash bin Rabi’. Nabi Muhammad SAW dan Siti Khadijah datang untuk memberikan doa. Siti Khadijah juga melepaskan kalung batu onyx Zafar yang dipakainya, kemudian menggantungkannya ke leher Zainab sebagai kado pengantin paling spesial. Tak sembarang orang bisa memiliki benda yang sangat berkilau dan berharga pada zamannya itu, kecuali orang yang kaya raya. Usai menikah, Zainab diboyong ke rumah keluarga Abil ‘Ash.
Zainab meyakini ketika suatu hari mendengar berita bahwa Ayahnya telah menerima wahyu dari Allah SWT untuk hijrah dari Mekkah ke Madinah. Padahal, sang suami tidak mempercayainya. Suami Zainab termasuk dalam barisan orang-orang yang memusuhi Nabi Muhammad SAW. Zainab kemudian memutuskan masuk Islam dan menceraikan Abil ‘Ash. Zainab hijrah bersama Ayah dan kaum muslimin. Kepergian Zainab tidak membuat Abil ‘Ash sedih. Abil ‘Ash bersama kawan-kawannya tetap saja memusuhi dan memerangi Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya.
Satu waktu Abil ‘Ash tertangkap oleh pasukan kaum muslimin. Mendengar kabar itu, Zainab segera meminta bantuan kepada Ayahnya untuk melepaskan Abil ‘Ash. Nabi Muhammad SAW menemui pimpinan kaum muslimin. Tidak berapa lama Abil ‘Ash dilepaskan dan dipertemukan dengan Zainab. Abil ‘Ash ingin tinggal satu atap lagi dengan Zainab. Tetapi Zainab tidak mau sebelum Abil ‘Ash memeluk Islam. Akhirnya Abil ‘Ash masuk Islam dan Nabi Muhammad SAW mengembalikan Zainab kepadanya setelah melalui akad nikah baru.
Zainab meninggal dunia pada tahun 8 Hijriah di samping suaminya. Ummu Aiman, Ummu Athiyah, Ummu Salamah, dan Saudah binti Zam’ah termasuk orang-orang yang akan memandikan jenazahnya. Kepada mereka, Nabi Muhammad SAW berpesan, “Basuhlah dia (Zainab) dalam jumlah yang ganjil, 3 atau 5 kali atau lebih jika kalian merasa lebih baik begitu. Mulailah dari sisi kanan dan anggota-anggota wudhu. Mandikan dia dengan air dan bunga. Bubuhi sedikit kapur barus pada air siraman yang terakhir. Jika kalian sudah selesai, beritahukanlah kepadaku.” Setelah dimandikan, Rasulullah SAW memberikan selimutnya untuk mengkafani jenazah Zainab.
Anugerah Untuk Utsman bin Affan
Ruqayyah lahir sesudah kakaknya, Zainab. Ia dipinang oleh ‘Utbah bin Abu Lahab. Abu Lahab terkenal sebagai tokoh yang sangat membenci Nabi Muhammad SAW. Tak lama setelah pernikahan itu, Rasulullah SAW menerima wahyu. Melihat sikap Abu Lahab yang terus memusuhi Islam, pernikahan mereka disudahi. Ruqayyah kemudian menikah lagi dengan Utsman bin Affan. Selang beberapa waktu setelah menikah, keduanya bersama rombongan hijrah ke Habasyah (Ethiopia) demi menghindari fitnah dan menyelamatkan agamanya.
Utsman bin Affan beserta rombongan kembali lagi ke Mekkah. Kedatangan Ruqayyah disambut kesedihan, sebab Ibunya telah wafat. Berikutnya Ruqayyah dan suaminya bersama kaum muslimin pindah dari Mekkah ke Madinah. Selama hijrah, Ruqayyah tidak menemukan kesulitan-kesulitan. Ia selalu setia mendampingi dan mendukung perjuangan suaminya. Setelah tinggal di Madinah, Ruqayyah terserang penyakit demam hingga akhirnya meninggal dunia. Nabi Muhammad SAW tidak mengetahui menjelang meninggalnya, sebab beliau sedang terlibat dalam Perang Badar.
Sepeninggal Ruqayyah, Utsman bin Affan dinikahkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan Umi Kalsum, adik Ruqayyah, pada tahun 3 Hijriyyah. Padahal, saat itu Utsman bin Affan tengah mengalami masa berkabung yang panjang. Kepergian istri yang amat dicintainya menyisakan duka dan kesedihan. Sebelumnya, Umi Kalsum pernah menikah dengan ‘Utaibah bin Abu Lahab. Namun, karena ‘Utaibah menolak masuk Islam dan lebih senang memilih memerangi Islam, keduanya pun bercerai.
Utsman bin Affan bisa tersenyum kembali berkat kehadiran Umi Kalsum. Bagi Utsman, hidup bersama Umi Kalsum sama membahagiakannya ketika ia menjadi suami Ruqayyah. Sayangnya usia perkawinan keduanya tidak langgeng. Enam tahun kemudian, Umi Kulsum pulang kerahmatullah. Kepergian Umi Kulsum kembali menorehkan kesedihan di hati Utsman. Bahkan, kesedihannya dirasakan Nabi Muhammad SAW yang duduk di atas kuburnya sambil menangis berlinang air mata. Utsman bin Affan digelari zun nurain, artinya yang mempunyai dua cahaya. Sebab, ia telah menikahi dua putri Nabi Muhammad SAW.
Fatimah Penerus Keturunan Nabi Muhammad SAW
Fatimah adalah putri bungsu kesayangan Nabi Muhammad SAW. Diberi nama Fatimah karena Allah SWT sudah menjamin menjauhkannya dari api neraka pada hari kiamat nanti. Ia besar dalam suasana keprihatinan dan kesusahan. Ibundanya wafat ketika usianya terlalu muda dan masih memerlukan kasih sayang seorang Ibu. Sejak itu, ia yang dikenal pintar dan cerdas mengambil alih tugas mengurus rumah tangga seperti memasak, mencuci dan mempersiapkan keperluan Ayahanya. Dibalik kesibukan sehari-hari, ternyata ia wanita yang ahli ibadah. Siang hari ia selalu berpuasa dan membaca Al-Quran, sementara malamnya tak ketinggalan shalat tahajjud dan berzikir.
Pada usia 18 tahun, Fatimah dinikahkan dengan pemuda yang sangat miskin hidupnya. Untuk membayar maskawin atau mahar saja, pemuda bernama Ali bin Abi Thalib itu tidak mampu, sehingga harus dibantu oleh Nabi Muhammad SAW. Prosesi pernikahannya berjalan dalam suasana yang amat sederhana. Usai menikah, Fatimah sering ditinggalkan oleh suaminya yang pergi berperang hingga berbulan-bulan. Namun Fatimah tetap ridho. Ia tipe wanita salehah dan mandiri yang selalu bekerja, mengambil air, memasak serta merawat anak-anaknya, tanpa mau berkeluh kesah karena kemiskinannya. Ia pandai menjaga harga diri dan wibawa suami dan keluarganya. Selain itu, ia menghabiskan waktunya untuk beribadah kepada Allah SWT.
Sebagai bukti sayangnya terhadap Fatimah, Nabi Muhammad SAW menyatakan, “Fatimah adalah bagian dariku. Siapa yang menyakitinya berarti menyakitiku. Siapa yang membuatnya gembira, maka ia telah membahagiakanku.” Fatimah dikenal paling dekat dan paling lama hidupnya bersama Nabi Muhammad SAW. Ia juga meriwayatkan banyak hadis dari Ayahnya. Fatimah meninggal dunia 6 bulan setelah Nabi Muhammad SAW wafat, tepatnya hari Selasa bulan Ramadhan tahun 11 Hijriyah dalam usia 28 tahun. Fatimah dimakamkan di pekuburan Baqi’, Madinah.
Dari pernikahannya dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah dikaruniai 6 anak, yaitu Hasan, Husein, Muhsin, Zaenab, Umi Kalsum, dan Ruqayyah. Namun, Muhsin meninggal dunia pada waktu masih kecil. Dengan demikian, Nabi Muhammad SAW tidak mempunyai keturunan kecuali dari Fatimah. Keturunan beliau hanya menyebar dari garis kedua cucunya, yakni Hasan dan Husein, yang kemudian disebut ahlul bait (pewaris kepemimpinan) Nabi Muhammad SAW.***
SUMBER:
https://komunitasamam.wordpress.com/2009/05/08/kisah-putra-dan-putri-nabi-muhammad-saw/

Menggapai Ma'rifat dan Mensucikan Hati



Para Ahli dan Para ulama Sufi/Tasawuf Pemahaman Ketauhid-an yang harus dilewati melalui 4 tahapan yakni; Syariat, Torikah, Hakekat dan Makrifat.
Rosululloh SAW: "Syariat itu ucapanku, Thoreqot itu perbubatanku, Hakikat itu merupakan tingkah laku daripadaku, dan Ma'rifat itu pokok dasar (modal) atau pangkal kekayaan (baik zahir mahupun batin)" (Hadis Riwayat Anas bin Malik)"
Dalam riwayat hadits yang lain dinyatakan bahwa :
“Sesungguhnya syariatku datang membawa 313 thariqah, tiap hamba yang menemui (mendekatkan diri pada) Allah dengan salah satunya, pasti masuk surga”. (HR. Thabrani)
4 Tahapan itu adalah:
SYARIAT/Fiqih: Hukum-hukum untuk memperbaiki amal lahir yang telah diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah yang bersumber dari Quran dan Hadits serta Ijma Para Ulama. Seperti bagai mana cara menerapkan cara wudhu yang benar, sholat rukun dan syaratnya yang benar, aturan bayar zakat, Puasa, Haji, aturan dalam kedidupan sehari-hari dll.
THOREQOH: Suatu praktek perbuatan untuk membersihkan hati dan membersihkan relung-relung hati dari karatnya dosa, dan kelalaian dengan melakukan amalan-amalan seperti: Istiqfar, wirid, dzikir dalam waktu dan hitungan tertentu atas bimbingan Al-Ghouts atau sang Guru yang khamil-mukamil (sempurna dan menyempurnakan) sesuai dengan ajaran yang dicontohkan oleh Rasulullah saw serta dikerjakan oleh para sahabat, para Ulama Salafus sholihin, para-ulama secara bersambung dan serantai hingga pada masa kini dan seterusnya turun-temurun sampai kepada guru MURSYID yang bisa mengantarkan si murid kepada Tuhannya.
HAKIKAT: Setelah melakukan Syariat dan Tarekat dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, sehingga ia dapat menyaksikan tanda-tanda ketuhanan dengan matahatinya. Hati menyadari bahwa segala sesuatu, termasuk gerak-gerik dirinya lahir batin seperti : melihat, mendengar, merasa, menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan ,berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT, yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya Billah.
MA’RIFAT: Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : Merupakan kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Ma’rifat juga bisa dikatakan hadirnya kebenaran Allah pada seorang dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Illahi wa Rosulullohi wa Ghoutsu Zaman.
Dan kunci untuk mendapatkan itu semua adalah:
1. Mujahadah (Bersungguh-sungguh dalam mencari dan mengamalkan ilmu)
2. Riadhah (Latihan)
3. Membersihkan Hati dari nafsu-nafsu yang tidak di ridhoi Alloh menuju nafsu mutmainah.
4. Zuhud (Meninggalkan sesuatu yang memalingkan dari Alloh, Banyak prihatin, puasa, tidak serakah dan mencontohi para Nabi dan Wali)
KESAKSIAN PARA ULAMA SALAFUS SHOLIHIN TENTANG KAUM SUFI/TASAWUF:
1. Al-Imam Hujjatul Islam Al-Ghozali berkata :
“Sungguh aku telah mengetahui secara yakin bahwa ahli tasawwuf mereka adalah orang yang menapaki jalan Allah Ta’ala secara khusus, sejarah hidup mereka sebaik-sebaik sejarah. Jalan mereka paling benarnya jalan. Akhlak mereka sesuci-sucinya akhlak” ( ini adalah jawaban pada orang yang mengingkari ahli tasawwuf) . (Al-Munqidz minadh Dholal :hal: 17, karya imam Ghozali)
2. Imam Abu Hanifa (Pendiri Mazhab Hanafi) (81-150 H./700-767 M)
“Jika tidak karena dua tahun, saya telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Ja’far as-Sadiq dan mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahuijalan yang benar”. Itulah dua tahun bersama Ja’far as-Sadiq”. Dalam Ad-Durr al-Mukhtar, vol 1. p. 43
3. Imam Malik (Pendiri Mazhab Maliki) (94-179 H./716-795 M)
“Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fikh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fikh tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dan fikh dia meraih kebenaran).” (dalam buku ‘Ali al-Adawi dari keteranganImam Abil-Hassan, ulama fikh, vol. 2, p. 195)
4. Nasihat Imam Asy-Syafi'I Rohimalloh (Pendiri Mazhab Syafi’i) (150-205 H./767-820 M):
“Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawwuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawwuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan taqwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawwuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik.
[Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
5. Imam Ahmad bin Hanbal (Pendiri Mazhab Hambali) (164-241 H./780-855 M)
Imam Ahmad (r): (Anakku kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka tetap mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka orang-orang zuhud dan mereka memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi,” (Tanwir al-Qulub, p. 405, Shaikh Amin al-Kurdi)
Imam Ahmad (r) tentang Sufi:”Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka” ( Ghiza al-Albab, vol. 1, p. 120)